Tugas pementasan drama kadang emang
bikin pusing. Biasanya sih susah di pembagian tokohnya. Udah dapet ide cerita,
giliran diterapin, eh ternyata perannya nggak imbang. Gitu kan? Padahal bakal
ada pengambilan nilai. Kalau nggak imbang kasihan yang perannya cuma dikit. Eh,
kok jadi curhat sih, hehe. Langsung aja deh daripada makin kemana-mana. Di
bawah ada naskah drama (yang awalnya aku ragu nggak bakal sukses, tapi ternyata
cukup memuaskan apresiasinya :D) buat 6 orang. Dua laki-laki, 4 perempuan.
Check this out yaa.. jangan lupa sertakan sumber kalau mau dipakai :D
PINOKIO
Author : Ern P.A
Cast :
Aks Li, Ern P.A, D. Wst, Widi, Wd. Are, Andri Tr.
BABAK 1
Tersebutlah suatu
kota di Italia bernama Fiorentina, ada seorang pembuat roti bernama Gepetto
yang tinggal sendirian. Gepetto sangat handal membuat roti, ia hidup
berkecukupan meskipun tinggal di sebuah pondok yang sederhana.
Suatu ketika, dia
pergi ke hutan dan menemukan sebuah batang kayu yang kuat dan bagus. Gepetto
membawanya pulang dan memahatnya menjadi sebuah boneka kayu yang ia beri nama
Pinokio. Gepetto menyayangi boneka kayu itu seperti anaknya
sendiri. Setiap hari, Gepetto mengajak Pinokio berinteraksi layaknya manusia.
Di suatu malam,
Gepetto sedang membacakan dongeng penghantar tidur untuk Pinokio.
Gepetto : “Suatu hari, ada kancil yang kelaparan. Kemudian ia mencari makan di
kebun milik warga di pinggir hutan. Kancil melihat buah mentimun yang sudah
masak dan besar-besar, ia pun tergiur untuk mengambilnya. Sore harinya pak tani
pergi ke kebunnya dan menemukan tanaman mentimunnya telah rusak dan banyak yang
hilang. Pak tani memasang perangkap untuk menangkap kancil. Akhirnya si kancil
dapat tertangkap oleh pak tani.” (menutup buku dongeng)
Gepetto : “Nah, kamu jangan nakal seperti kancil ya Pinokio!
Karena itu adalah perbuatan tercela. Bagaimana ceritanya? Bagus kan?” (melihat pinokio yang diam saja)
Gepetto : “Kenapa kau diam saja? Kamu sudah tidur ya? Ya sudah, selamat tidur
Pinokio!”(sambil menyelimuti
dan mengusap rambut Pinokio)
Ruangan mendadak hening
setelah Gepetto pergi. Tak berselang lama, terdengarlah suara televisi di ruang
tengah yang menandakan bahwa kakek tua itu sedang menonton televisi. Di saat
yang bersamaan, seorang peri muncul dengan ajaib. Peri itu mengendap-endap
mendekati pintu untuk memastikan bahwa keadaan telah aman untuk menjalankan
tugas.
Peri Biru : “Ckckck…
malang sekali pak tua itu. Pantas saja aku diberi tugas untuk menjawab doanya
untuk menghidupkan boneka ini…” (mondar-mandir di depan boneka Pinokio)
Peri Biru :
“Ngomong-ngomong, pak tua itu repot sekali ya, kalau menginginkan pendamping
hidup kenapa tidak menikah saja? Atau sekalian saja mengadopsi anak. Lebih
mudah dibanding susah-susah memahat kayu dan berdoa agar boneka konyol ini hidup,
please, guys, it sounds impossible”
Peri Biru : “Okay… dan di
sinilah peran seorang Ibu Peri! Baiklah dunia, berikan sambutan kalian untuk
kawan baru kita… sim salabim abracadabra pinokiosa kasihano hidupose! Tring!”
(mengayunkan tongkat sihirnya ke kepala Pinokio)
Pinokio :
(mengedipkan mata yang pertama kalinya lalu melihat tangannya sendiri yang
mulai dapat bergerak) “Aku siapa?”
Pinokio :
(melihat sekeliling) “Ini dimana?”
Peri Biru : “Selamat
datang ke dunia, Pinokio! Kau hidup sekarang… sebagai boneka kayu tentunya…”
Pinokio : “Kau siapa? Oh
ya apa kau tahu aku siapa dan ngomong-ngomong ini dimana?”
Peri Biru : “Namaku Peri
Biru dan aku yang menghidupkanmu. Namamu adalah Pi-no-ki-o, kau dipahat dari
batang kayu terbaik di dunia oleh seorang pembuat roti handal bernama
Ge-pe-tto. Kau patut bersyukur, nak, karena berkat doa tulus dari ayahmu, kau
sekarang benar-benar hidup…” (menjelaskan dengan semangat)
Pinokio :
“Wow benarkah? Aku merasa senang sekali, Peri Biru! Apa itu artinya aku dulu
adalah tumbuhan?” (sambil mencoba menggerakkan badannya)
Peri Biru :
“Yap! Jadi, apa kau ingin jadi manusia sejati, Pinokio?”
Pinokio : “Ya… ya… ya…
ya… ya… bagaimana caranya?”
Peri Biru : “Hanya satu
syarat! Berjanjilah untuk menjadi anak baik dan… jangan pernah berbohong atau
hidungmu akan memanjang, sangaaat panjang!”
Pinokio : “Terdengar
mudah…” (berlari-lari di ruangan itu)
Peri Biru : “Ya syukurlah kalau
begitu, tapi Pinokio, kau jangan senang dulu...”
Pinokio :
“Aku senang
sekali... aku senang sekali...”
Peri Biru : “Pinokio!!”
Pinokio :
(Pyarr...
tangan Pinokio tak sengaja menjatuhkan vas bunga)
Peri Biru : “Upppsss!!!!!!!”
Gepetto :
“Siapa disana??” (berteriak dari ruang lain)
Peri Biru : “Aduh kamu ini!” (bersembunyi di balik pintu)
Gepetto :
(masuk ke
ruangan itu) “Lhoh?” (menunjuk Pinokio
Pinokio :
“Ma...
maaf, tuan, aku tidak sengaja...”
Peri Biru : (memberi kode tanpa
bersuara) “Pinokio, itu ayahmu! Ayahmu!!”
Gepetto :
“Ba...
Bagaimana mungkin kamu hidup?”
Pinokio :
“Apa?”
(bertanya pada Peri Biru sambil kebingungan)
Peri Biru : “Oh God, dude, it
is your dad! Come on, it is your dad! Your Dad!!”
Gepetto :
(menoleh ke
belakang)
Peri Biru : (Menghilang)
Pinokio :
“Ayahh,”
Gepetto :
“Apa? Kamu
memanggilku Ayah”
Pinokio :
“Kamu Ayahku?”
Gepetto :
“Oh… Terima
kasih Tuhan,telah kau kabulkan doaku” (hening sejenak)
Gepetto :
“Mari nak,
ayah akan mengajakmu menonton bola” (merangkul Pinokio)
Pinokio :
“Bola, apa
itu bola?”
Gepetto :
(berhenti,
dengan gemas namun bahagia) “Ahh, Kau ini...”
BABAK 2
Beberapa hari
kemudian, hidup Pinokio sudah seperti anak manusia sewajarnya. Gepetto juga
telah menyekolahkannya di Sekolah Dasar. Pinokio sangat senang bertemu dengan
teman-teman baru di sekolah. Sayangnya, Pinokio tumbuh menjadi anak nakal dan
suka berbohong.
Di sekolah, terlihat
Bu Elisabeth sedang menerangkan pelajaran matematika. Tetapi murid-muridnya
banyak yang tidak paham lalu memilih sibuk sendiri-sendiri.
Bu Elisabeth : “Jadi anak-anak,
jika kita melihat pada segi tiga siku-siku ini, maka kita dapat menyimpulkan
bahwa nilai dari sinus alfa adalah sisi depan dibagi sisi miring...” (menulis
di papan tulis)
Pinokio : (bengong karena tidak paham lalu tidur di
bangkunya)
Bu Elisabeth : “Nah, minggu lalu Ibu sudah mengupas sedikit tentang nilai sudut
istimewa, masih ingat bukan?” (berbalik lalu geleng-geleng melihat
murid-muridnya)
Bu Elisabeth : (mendekati meja Pinokio) “Ehm, Pinokio!”
Pinokio : (masih tidur)
Bu Elisabeth : (menggebrak meja) “Pinokio!!”
Pinokio :(bangun dan gelagapan)
“Aduh apa sih bu? Ibu tuh cerewet, dari tadi Ibu menjelaskan tidak ada materi
yang bisa masuk, bu! Lihat itu teman-teman, tidak ada yang memperhatikan!
Sebenarnya Ibu itu bisa menerangkan atau tidak sih?”
Bu Elisabeth : “Pinokio!!
Keluar!!” (menunjuk ke luar kelas)
Pinokio :
“Keluar,
bu?”
Chelsea : “Bu... istirahat, bu!”
Mavis : “Bu... mau pipis!”
Giovanna : “Bu... ada yang ngompol!! Bau!!”
Toby : “Bu... pulang bu!!”
(sambil memukul meja)
Anak-anak : “Iya bu, pulang, bu!
Pulang... pulang... pulang!!” (ikut memukul meja)
Bu Elisabeth : “Diam!!”
Anak-anak : (hening)
Bu Elisabeth : “Ya sudah! Ibu akan
membagikan hasil ulangan kalian, lalu boleh pulang!” (membagikan kertas hasil
ulangan)
Pinokio :
(menatap
kertas ulangannya dengan terkejut) “F!!”
Bu Elisabeth : “Serahkan pada
orang tua, tanda tangani lalu dikumpulkan kembali!”
Pinokio :
(gelisah)
“Mati...”
Bu Elisabeth : “Sekarang kalian
boleh pulang. Selamat siang!”
Anak-anak : “Siang!!”
Anak-anak sekolah dasar itu pun
behamburan keluar. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
BABAK 3
Di perjalanan pulang, Mavis dan Chelsea
berbincang-bincang tentang nilai ulangan mereka dan tentang teman mereka yang
berbeda yaitu Pinokio.
Mavis : “Nilaiku B, kamu?”
Chelsea : “Aku A!!” (bangga)
Mavis : (jengkel) “Huh!!”
Mavis : “Oh ya, kau tahu
tidak, Pinokio dapat nilai terendah lagi, lho!”
Chelsea :
“Ha... ya
begitulah, namanya juga cuma boneka kayu, mana bisa menyaingi manusia, otaknya
juga dari kayu, kan?”
Mavis : “Oh... benar juga,
ya! Mana mungkin bisa pintar! Lalu untuk apa dia sekolah?”
Chelsea :
“Itu kan
idenya Pak Gepetto supaya Pinokio bisa seperti anak-anak lainnya,” (sinis)
Giovanna :
“Hey...
kalian sedang membicarakan apa?” (berlari dari arah belakang)
Mavis : “Eh... Giovanna...”
(sinis)
Chelsea :
“Kami
sedang membicarakan teman kayu-mu itu, yang selalu langganan nilai terendah...”
Mavis : “Iya, dia kan cuma
kayu, mana mungkin bisa dapat nilai A seperti Chelsea!”
Giovanna :
“Kenapa
kalian bicara seperti itu? Kita tidak boleh membeda-bedakan teman...”
Mavis : “Kita tidak
membeda-bedakan, memang benar dia beda kok!”
Chelsea :
“Lagipula,
Pinokio di sekolah hanya tidur saja, bagaimana bisa pintar?”
Giovanna :
“Jangan
seperti itu, coba saja kalian jadi Pinokio, bagaimana rasanya kalau tidak punya
teman?”
Chelsea :
“Ah...
sudah-sudah, kalau mau ceramah di lapangan saja sana!!” (mengusir)
Toby : “Haahh...
minggir-minggir! Kalian ini, cuma memenuhi jalan saja!!” (menyela kerumunan)
Mavis : “Huh... dasar,
gendut!! Kamu itu yang memenuhi jalan,
badanmu saja besar seperti gajah!!”
Toby : “Apa kamu bilang?
Badanku seperti gajah?? Berani kamu sama aku hah??”
Mavis : “O... ow...
kabur!!!!” (berlari)
Mavis, Chelsea dan Giovanna pun lari tunggang langgang setelah Toby
naik pitam.
BABAK 4
Sesampainya di rumah,
Pinokio disambut oleh Gepetto dengan ramah. Gepetto yang saat itu sedang
membuat roti dengan penuh perhatian menanyakan tentang perkembangan sekolah
Pinokio.
Gepetto :
“Bagaimana
sekolahmu, Pinokio?” (menghias roti)
Pinokio :
“Oh...
baik-baik saja, Ayah sedang membuat apa?” (berdiri di samping Gepetto)
Gepetto :
“Ha...
ha... ha... sedang membuat pesanan... oh ya, katanya kemarin kamu ulangan kan?”
Pinokio :
“Eh...
oh... itu...”
Gepetto :
“Bagaimana
nilainya, anakku?”
Pinokio :
(terdiam)
“Nilaiku... bagus... aku dapat B...” (berbalik dan meletakkan tas di meja)
Gepetto :
“Syukurlah
kalau begitu, Ayah sangat senang kalau nilaimu naik!! Belajar yang tekun ya,
Pinokio!!”
Pinokio :
“Baik
ayah!!”
Gepetto :
“Pinokio...
Pinokio, tolong ambilkan gula bubuk di lemari itu!” (menunjuk lemari)
Pinokio :
(mengambil
gula bubuk lalu menyerahkannya pada Gepetto)
Gepetto :
(terkejut
melihat hidung Pinokio yang jadi panjang)
Pinokio :
“A... ada
apa, Ayah?”
Gepetto :
“Kamu pasti
berbohong lagi, kan? Mana tasmu?” (mengambil tas Pinokio dan menggeledahnya)
Gepetto :
(terkejut
melihat kertas ulangan Pinokio) “B katamu??” (menunjuk huruf F merah besar di
kertas ulangan Pinokio)
Pinokio :
“I... i...
itu... Ayah...”
Gepetto :
“Pinokio!! Ayah sangat kecewa padamu! Sudah berapa kali kamu mendapat F dan berbohong
pada Ayah?? Apa yang kamu lakukan di sekolah, Pinokio?”
Pinokio :
“Ayah...
pelajarannya susah sekali, gurunya juga sangat galak...”
Gepetto :
“Kalau kamu
tidak mengerti, kamu kan bisa bertanya, kamu harusnya lebih rajin belajar!!”
Pinokio :
“Maafkan
aku, Ayah!”
Gepetto :
“Pokoknya,
kamu tidak boleh bermain-main lagi, kamu harus fokus belajar!!”
Pinokio :
“Maafkan
aku, Ayah! Otak kayu-ku ini memang tidak bisa dibandingkan dengan otak
teman-temanku...”
Gepetto :
“Sudah...
sudah... kali ini, Ayah memaafkanmu, tapi kamu harus
berjanji akan belajar lebih rajin lagi!”
Pinokio :
“Baik
Ayah!”
BABAK 5
Di sekolah, Pinokio masih belum
menunjukkan peningkatan. Dia masih tertidur di dalam kelas saat Bu Elisabeth
menerangkan pelajaran. Pada saat istirahat, anak-anak terlihat bermain di
lapangan.
Pinokio telihat asyik bermain bola dan
tanpa sengaja bolanya terlempar mengenai Toby yang sedang makan.
Toby : “Kurang ajar!!
Siapa yang melempar bola tadi???” (melihat ke arah Chelsea dan Mavis)
Chelsea & Mavis : “Bukan kami! Bukan kami!! Pinokio yang
melemparnya!!” (menunjuk Pinokio)
Pinokio : (cengengesan) “Ma... maaf... tidak sengaja!”
Toby : “Dasar kurang ajar! Sini kamu!! Kamu bisa main
bola tidak sih hah?? Tidak lihat ada orang makan, hah? Dasar kayu sialan!!”
Pinokio : “Apa kamu bilang?”
Toby : “Kenapa? Berani kamu sama aku hah? Berani???”
(menarik kerah Pinokio)
Pinokio :
“Jangan
menarik-narik kerahku, bodoh!!” (mendorong Toby)
Toby : “Beraninya kamu menghinaku bodoh!!”
Toby dan Pinokio pun saling pukul
memukul. Teman-teman mereka yang lain seperti Chelsea, Mavis dan Giovanna hanya
menonton di pinggir lapangan sambil berteriak-teriak histeris.
Chelsea : “Ayo gendut, pukul kayu sialan itu!!”
Mavis : “Iya pukul saja kayu itu!!”
Giovanna : “Berhenti teman-teman!! Jangan berkelahi!! Berhenti!! Berhenti!!”
Toby dan Pinokio tetap berkelahi sampai
Bu Elisabeth datang menghampiri kedua anak itu. Bu Elisabeth pun menjewer
telinga Toby dan Pinokio.
Bu Elisabeth : “Kalian ini!!
Kecil-kecil sudah berkelahi, mau jadi apa kalian, hah?”
Toby dan Pinokio : “Aduh... sakit, Bu!!”
Bu Elisabeth : “Siapa yang
memperbolehkan kalian berkelahi di sekolah? Siapa??” (melepaskan jewerannya)
Pinokio :
(mengelus
telinganya) “Itu Bu, Toby menghinaku kayu sialan!!”
Toby : “Bohong, Bu! Dia yang melempar bola saat aku
makan!!”
Bu Elisabeth : “Sudah-sudah, Ibu
tidak mau dengar! Ibu akan memanggil orang tua kalian ke sekolah!! Sekarang
semuanya masuk kelas!!”
Semua anak-anak pun
masuk kelas sesuai perintah Bu Elisabeth.
BABAK 6
Gepetto pun dipanggil ke sekolah oleh Bu
Elisabeth karena lagi-lagi Pinokio membuat onar. Di perjalanan pulang ke rumah,
Gepetto marah-marah pada Pinokio.
Gepetto : “Ayah benar-benar kecewa denganmu, Pinokio!
Bisa-bisanya kamu malah berkelahi di sekolah! Mau jadi berandalan, kamu?”
Pinokio : “Tidak Ayah...”
Gepetto : “Baru kemarin Ayah memarahimu karena dapat nilai F, sekarang kamu
sudah membuat onar lagi!!”
Pinokio :
“Tapi Ayah,
Toby menghinaku padahal aku hanya tidak sengaja melempar bola ke kepalanya...”
Gepetto : “Sudah berapa kali Ayah bilang, kalau kamu dihina,
biarkan saja!!”
Pinokio :
“Bukan
begitu, Ayah! Ah, sudahlah, Pinokio tidak mau sekolah lagi!!” (berjalan
mendahului Gepetto)
Gepetto : “Pinokio!! Jangan melawan Ayah!!”
Pinokio : “Ayah tidak mengerti, setiap hari mereka
menghinaku karena aku berbeda, karena aku cuma seonggok kayu yang Ayah pahat
lalu diberi kehidupan oleh seorang peri!!”
Gepetto : “Kenapa kamu bicara seperti itu, Pinokio?”
Pinokio :
“Karena
memang tidak ada yang mau berteman dengan kayu sepertiku, Ayah. Aku benci jadi
boneka kayu, pokoknya aku tidak mau sekolah!!”
Pinokio pun berlari pulang mendahului
Ayahnya.
BABAK 7
Berhari-hari, Pinokio
tidak masuk sekolah. Ia hanya mengurung diri di kamar sementara Gepetto terus
berdoa untuk kebaikan Pinokio. Gepetto terus berdoa agar Pinokio dapat menjadi
manusia normal seperti teman-temannya.
Pinokio terlihat
duduk memeluk lututnya di kamarnya. Tak lama kemudian, Peri Biru kembali muncul
dengan ajaib.
Peri Biru : “Pinokio...”
Pinokio : “Aku tidak mau lagi hidup sebagai boneka kayu,
Ibu Peri...”
Peri Biru : “Kenapa?”
Pinokio : “Tidak ada yang mau berteman denganku, Ibu
Peri... semuanya membenciku,”
Peri Biru :
“Bukankah
aku sudah berjanji akan menjadikanmu manusia dengan satu syarat, apa kau
melakukannya dengan baik?”
Pinokio :
“Tidak,
Peri Biru. Ternyata semua itu sangat sulit, aku tidak mau melihat Ayahku marah,
jadi terpaksa aku selalu berbohong padanya...”
Peri Biru :
“Aku sudah
mengetahuinya, Pinokio. Dan aku mendengar doa ayahmu setiap malam, agar kau
bisa menjadi manusia sejati... apa kau masih mau jadi manusia, Pinokio?”
Pinokio :
“Apakah bisa Ibu Peri?” (berseri-seri)
Peri Biru :
“Tetap
dengan satu syarat. Kali ini, kamu tidak boleh melanggarnya apapun yang terjadi.
Jangan pernah membuat ayahmu marah, Pinokio, apa kau bersedia?”
Pinokio :
“Tapi aku
selalu membuatnya marah, Ibu Peri...”
Peri Biru :
“Karena
itulah aku memintamu untuk berhenti membuat ayahmu marah, kau bisa
melakukannya?”
Pinokio : (mengangguk)
Peri Biru : “Baiklah, kau sebentar lagi akan jadi manusia sejati. Bersiaplah,
Pinokio. Simsalabim abrakadabra pinokiosa jadikano manusiasejatino Tring!!”
(mengayunkan tongkat sihirnya ke kepala Pinokio)
Akhirnya, Pinokio pun menjadi manusia
sejati dan hidup bahagia bersama Gepetto dan teman-teman yang kini menerimanya.