Friday, April 17, 2015

Naskah Drama 6 Orang


          Tugas pementasan drama kadang emang bikin pusing. Biasanya sih susah di pembagian tokohnya. Udah dapet ide cerita, giliran diterapin, eh ternyata perannya nggak imbang. Gitu kan? Padahal bakal ada pengambilan nilai. Kalau nggak imbang kasihan yang perannya cuma dikit. Eh, kok jadi curhat sih, hehe. Langsung aja deh daripada makin kemana-mana. Di bawah ada naskah drama (yang awalnya aku ragu nggak bakal sukses, tapi ternyata cukup memuaskan apresiasinya :D) buat 6 orang. Dua laki-laki, 4 perempuan. Check this out yaa.. jangan lupa sertakan sumber kalau mau dipakai :D

                                        PINOKIO


Author : Ern P.A
Cast     : Aks Li, Ern P.A, D. Wst, Widi, Wd. Are, Andri Tr.

BABAK 1
Tersebutlah suatu kota di Italia bernama Fiorentina, ada seorang pembuat roti bernama Gepetto yang tinggal sendirian. Gepetto sangat handal membuat roti, ia hidup berkecukupan meskipun tinggal di sebuah pondok yang sederhana.
Suatu ketika, dia pergi ke hutan dan menemukan sebuah batang kayu yang kuat dan bagus. Gepetto membawanya pulang dan memahatnya menjadi sebuah boneka kayu yang ia beri nama Pinokio. Gepetto menyayangi boneka kayu itu seperti anaknya sendiri. Setiap hari, Gepetto mengajak Pinokio berinteraksi layaknya manusia.
Di suatu malam, Gepetto sedang membacakan dongeng penghantar tidur untuk Pinokio.
Gepetto           : “Suatu hari, ada kancil yang kelaparan. Kemudian ia mencari makan di kebun milik warga di pinggir hutan. Kancil melihat buah mentimun yang sudah masak dan besar-besar, ia pun tergiur untuk mengambilnya. Sore harinya pak tani pergi ke kebunnya dan menemukan tanaman mentimunnya telah rusak dan banyak yang hilang. Pak tani memasang perangkap untuk menangkap kancil. Akhirnya si kancil dapat tertangkap oleh pak tani.” (menutup buku dongeng)
Gepetto           : “Nah, kamu jangan nakal seperti kancil ya Pinokio! Karena itu adalah perbuatan tercela. Bagaimana ceritanya? Bagus kan? (melihat pinokio yang diam saja)
Gepetto           : “Kenapa kau diam saja? Kamu sudah tidur ya? Ya sudah, selamat tidur
                        Pinokio!”(sambil menyelimuti dan mengusap rambut Pinokio)
Ruangan mendadak hening setelah Gepetto pergi. Tak berselang lama, terdengarlah suara televisi di ruang tengah yang menandakan bahwa kakek tua itu sedang menonton televisi. Di saat yang bersamaan, seorang peri muncul dengan ajaib. Peri itu mengendap-endap mendekati pintu untuk memastikan bahwa keadaan telah aman untuk menjalankan tugas.
Peri Biru          : “Ckckck… malang sekali pak tua itu. Pantas saja aku diberi tugas untuk menjawab doanya untuk menghidupkan boneka ini…” (mondar-mandir di depan boneka Pinokio)
Peri Biru          : “Ngomong-ngomong, pak tua itu repot sekali ya, kalau menginginkan pendamping hidup kenapa tidak menikah saja? Atau sekalian saja mengadopsi anak. Lebih mudah dibanding susah-susah memahat kayu dan berdoa agar boneka konyol ini hidup, please, guys, it sounds impossible”
Peri Biru          : “Okay… dan di sinilah peran seorang Ibu Peri! Baiklah dunia, berikan sambutan kalian untuk kawan baru kita… sim salabim abracadabra pinokiosa kasihano hidupose! Tring!” (mengayunkan tongkat sihirnya ke kepala Pinokio)
Pinokio            : (mengedipkan mata yang pertama kalinya lalu melihat tangannya sendiri yang mulai dapat bergerak) “Aku siapa?”
Pinokio            : (melihat sekeliling) “Ini dimana?”
Peri Biru          : “Selamat datang ke dunia, Pinokio! Kau hidup sekarang… sebagai boneka kayu tentunya…”
Pinokio            : “Kau siapa? Oh ya apa kau tahu aku siapa dan ngomong-ngomong ini dimana?”
Peri Biru          : “Namaku Peri Biru dan aku yang menghidupkanmu. Namamu adalah Pi-no-ki-o, kau dipahat dari batang kayu terbaik di dunia oleh seorang pembuat roti handal bernama Ge-pe-tto. Kau patut bersyukur, nak, karena berkat doa tulus dari ayahmu, kau sekarang benar-benar hidup…” (menjelaskan dengan semangat)
Pinokio            : “Wow benarkah? Aku merasa senang sekali, Peri Biru! Apa itu artinya aku dulu adalah tumbuhan?” (sambil mencoba menggerakkan badannya)
Peri Biru          : “Yap! Jadi, apa kau ingin jadi manusia sejati, Pinokio?”
Pinokio            : “Ya… ya… ya… ya… ya… bagaimana caranya?”
Peri Biru          : “Hanya satu syarat! Berjanjilah untuk menjadi anak baik dan… jangan pernah berbohong atau hidungmu akan memanjang, sangaaat panjang!”
Pinokio            : “Terdengar mudah…” (berlari-lari di ruangan itu)
Peri Biru          : “Ya syukurlah kalau begitu, tapi Pinokio, kau jangan senang dulu...”
Pinokio            : “Aku senang sekali... aku senang sekali...”
Peri Biru          : “Pinokio!!”
Pinokio            : (Pyarr... tangan Pinokio tak sengaja menjatuhkan vas bunga)
Peri Biru          : “Upppsss!!!!!!!
Gepetto           : “Siapa disana?? (berteriak dari ruang lain)
Peri Biru          : “Aduh kamu ini! (bersembunyi di balik pintu)
Gepetto           : (masuk ke ruangan itu) “Lhoh?” (menunjuk Pinokio
Pinokio            : “Ma... maaf, tuan, aku tidak sengaja...”
Peri Biru          : (memberi kode tanpa bersuara) “Pinokio, itu ayahmu! Ayahmu!!”
Gepetto           : “Ba... Bagaimana mungkin kamu hidup?”
Pinokio            : “Apa?” (bertanya pada Peri Biru sambil kebingungan)
Peri Biru          : “Oh God, dude, it is your dad! Come on, it is your dad! Your Dad!!”
Gepetto           : (menoleh ke belakang)
Peri Biru          : (Menghilang)
Pinokio            : “Ayahh,”
Gepetto           : “Apa? Kamu memanggilku Ayah”
Pinokio            : “Kamu Ayahku?”
Gepetto           : “Oh… Terima kasih Tuhan,telah kau kabulkan doaku” (hening sejenak)
Gepetto           : “Mari nak, ayah akan mengajakmu menonton bola” (merangkul Pinokio)
Pinokio            : “Bola, apa itu bola?” 
Gepetto           : (berhenti, dengan gemas namun bahagia) “Ahh, Kau ini...”

BABAK 2
            Beberapa hari kemudian, hidup Pinokio sudah seperti anak manusia sewajarnya. Gepetto juga telah menyekolahkannya di Sekolah Dasar. Pinokio sangat senang bertemu dengan teman-teman baru di sekolah. Sayangnya, Pinokio tumbuh menjadi anak nakal dan suka berbohong.
            Di sekolah, terlihat Bu Elisabeth sedang menerangkan pelajaran matematika. Tetapi murid-muridnya banyak yang tidak paham lalu memilih sibuk sendiri-sendiri.
Bu Elisabeth    : “Jadi anak-anak, jika kita melihat pada segi tiga siku-siku ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa nilai dari sinus alfa adalah sisi depan dibagi sisi miring...” (menulis di papan tulis)
Pinokio            : (bengong karena tidak paham lalu tidur di bangkunya)
Bu Elisabeth    : “Nah, minggu lalu Ibu sudah mengupas sedikit tentang nilai sudut istimewa, masih ingat bukan?” (berbalik lalu geleng-geleng melihat murid-muridnya)
Bu Elisabeth    : (mendekati meja Pinokio) “Ehm, Pinokio!”
Pinokio            : (masih tidur)
Bu Elisabeth    : (menggebrak meja) “Pinokio!!”
Pinokio            :(bangun dan gelagapan) “Aduh apa sih bu? Ibu tuh cerewet, dari tadi Ibu menjelaskan tidak ada materi yang bisa masuk, bu! Lihat itu teman-teman, tidak ada yang memperhatikan! Sebenarnya Ibu itu bisa menerangkan atau tidak sih?”
Bu Elisabeth    : “Pinokio!! Keluar!!” (menunjuk ke luar kelas)
Pinokio            : “Keluar, bu?”
Chelsea           : “Bu... istirahat, bu!”
Mavis              : “Bu... mau pipis!”
Giovanna         : “Bu... ada yang ngompol!! Bau!!”
Toby                : “Bu... pulang bu!!” (sambil memukul meja)
Anak-anak       : “Iya bu, pulang, bu! Pulang... pulang... pulang!!” (ikut memukul meja)
Bu Elisabeth    : “Diam!!”
Anak-anak       : (hening)
Bu Elisabeth    : “Ya sudah! Ibu akan membagikan hasil ulangan kalian, lalu boleh pulang!” (membagikan kertas hasil ulangan)
Pinokio            : (menatap kertas ulangannya dengan terkejut) “F!!”
Bu Elisabeth    : “Serahkan pada orang tua, tanda tangani lalu dikumpulkan kembali!”
Pinokio            : (gelisah) “Mati...”
Bu Elisabeth    : “Sekarang kalian boleh pulang. Selamat siang!”
Anak-anak       : “Siang!!”
Anak-anak sekolah dasar itu pun behamburan keluar. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing.

BABAK 3
Di perjalanan pulang, Mavis dan Chelsea berbincang-bincang tentang nilai ulangan mereka dan tentang teman mereka yang berbeda yaitu Pinokio.
Mavis              : “Nilaiku B, kamu?”
Chelsea           : “Aku A!!” (bangga)
Mavis              : (jengkel) “Huh!!”
Mavis              : “Oh ya, kau tahu tidak, Pinokio dapat nilai terendah lagi, lho!”
Chelsea           : “Ha... ya begitulah, namanya juga cuma boneka kayu, mana bisa menyaingi manusia, otaknya juga dari kayu, kan?”
Mavis              : “Oh... benar juga, ya! Mana mungkin bisa pintar! Lalu untuk apa dia sekolah?”
Chelsea           : “Itu kan idenya Pak Gepetto supaya Pinokio bisa seperti anak-anak lainnya,” (sinis)
Giovanna         : “Hey... kalian sedang membicarakan apa?” (berlari dari arah belakang)
Mavis              : “Eh... Giovanna...” (sinis)
Chelsea           : “Kami sedang membicarakan teman kayu-mu itu, yang selalu langganan nilai terendah...”
Mavis              : “Iya, dia kan cuma kayu, mana mungkin bisa dapat nilai A seperti Chelsea!”
Giovanna         : “Kenapa kalian bicara seperti itu? Kita tidak boleh membeda-bedakan teman...”
Mavis              : “Kita tidak membeda-bedakan, memang benar dia beda kok!”
Chelsea           : “Lagipula, Pinokio di sekolah hanya tidur saja, bagaimana bisa pintar?”
Giovanna         : “Jangan seperti itu, coba saja kalian jadi Pinokio, bagaimana rasanya kalau tidak punya teman?”
Chelsea           : “Ah... sudah-sudah, kalau mau ceramah di lapangan saja sana!!” (mengusir)
Toby                            : “Haahh... minggir-minggir! Kalian ini, cuma memenuhi jalan saja!!” (menyela kerumunan)
Mavis                          : “Huh... dasar, gendut!! Kamu itu yang memenuhi jalan,  badanmu saja besar seperti gajah!!”
Toby                : “Apa kamu bilang? Badanku seperti gajah?? Berani kamu sama aku hah??”
Mavis              : “O... ow... kabur!!!!” (berlari)
Mavis, Chelsea dan Giovanna pun lari tunggang langgang setelah Toby naik pitam.

BABAK 4
            Sesampainya di rumah, Pinokio disambut oleh Gepetto dengan ramah. Gepetto yang saat itu sedang membuat roti dengan penuh perhatian menanyakan tentang perkembangan sekolah Pinokio.
Gepetto           : “Bagaimana sekolahmu, Pinokio?” (menghias roti)
Pinokio            : “Oh... baik-baik saja, Ayah sedang membuat apa?” (berdiri di samping Gepetto)
Gepetto           : “Ha... ha... ha... sedang membuat pesanan... oh ya, katanya kemarin kamu ulangan kan?”
Pinokio            : “Eh... oh... itu...”
Gepetto           : “Bagaimana nilainya, anakku?”
Pinokio            : (terdiam) “Nilaiku... bagus... aku dapat B...” (berbalik dan meletakkan tas di meja)
Gepetto           : “Syukurlah kalau begitu, Ayah sangat senang kalau nilaimu naik!! Belajar yang tekun ya, Pinokio!!”
Pinokio            : “Baik ayah!!”
Gepetto           : “Pinokio... Pinokio, tolong ambilkan gula bubuk di lemari itu!” (menunjuk lemari)
Pinokio            : (mengambil gula bubuk lalu menyerahkannya pada Gepetto)
Gepetto           : (terkejut melihat hidung Pinokio yang jadi panjang)
Pinokio            : “A... ada apa, Ayah?”
Gepetto           : “Kamu pasti berbohong lagi, kan? Mana tasmu?” (mengambil tas Pinokio dan menggeledahnya)
Gepetto           : (terkejut melihat kertas ulangan Pinokio) “B katamu??” (menunjuk huruf F merah besar di kertas ulangan Pinokio)
Pinokio            : “I... i... itu... Ayah...”
Gepetto           : “Pinokio!! Ayah sangat kecewa padamu! Sudah berapa kali kamu mendapat F dan berbohong pada Ayah?? Apa yang kamu lakukan di sekolah, Pinokio?”
Pinokio            : “Ayah... pelajarannya susah sekali, gurunya juga sangat galak...”
Gepetto           : “Kalau kamu tidak mengerti, kamu kan bisa bertanya, kamu harusnya lebih rajin belajar!!”
Pinokio            : “Maafkan aku, Ayah!”
Gepetto           : “Pokoknya, kamu tidak boleh bermain-main lagi, kamu harus fokus belajar!!”
Pinokio            : “Maafkan aku, Ayah! Otak kayu-ku ini memang tidak bisa dibandingkan dengan otak teman-temanku...”
Gepetto           : “Sudah... sudah... kali ini, Ayah memaafkanmu, tapi kamu harus berjanji akan belajar lebih rajin lagi!”
Pinokio            : “Baik Ayah!”

BABAK 5
Di sekolah, Pinokio masih belum menunjukkan peningkatan. Dia masih tertidur di dalam kelas saat Bu Elisabeth menerangkan pelajaran. Pada saat istirahat, anak-anak terlihat bermain di lapangan.
Pinokio telihat asyik bermain bola dan tanpa sengaja bolanya terlempar mengenai Toby yang sedang makan.
Toby                            : “Kurang ajar!! Siapa yang melempar bola tadi???” (melihat ke arah Chelsea dan Mavis)
Chelsea & Mavis : “Bukan kami! Bukan kami!! Pinokio yang melemparnya!!” (menunjuk Pinokio)
Pinokio            : (cengengesan) “Ma... maaf... tidak sengaja!”
Toby                : “Dasar kurang ajar! Sini kamu!! Kamu bisa main bola tidak sih hah?? Tidak lihat ada orang makan, hah? Dasar kayu sialan!!”
Pinokio            : “Apa kamu bilang?”
Toby                : “Kenapa? Berani kamu sama aku hah? Berani???” (menarik kerah Pinokio)
Pinokio            : “Jangan menarik-narik kerahku, bodoh!!” (mendorong Toby)
Toby                : “Beraninya kamu menghinaku bodoh!!”
Toby dan Pinokio pun saling pukul memukul. Teman-teman mereka yang lain seperti Chelsea, Mavis dan Giovanna hanya menonton di pinggir lapangan sambil berteriak-teriak histeris.
Chelsea           : “Ayo gendut, pukul kayu sialan itu!!”
Mavis              : “Iya pukul saja kayu itu!!”
Giovanna         : “Berhenti teman-teman!! Jangan berkelahi!! Berhenti!! Berhenti!!”
Toby dan Pinokio tetap berkelahi sampai Bu Elisabeth datang menghampiri kedua anak itu. Bu Elisabeth pun menjewer telinga Toby dan Pinokio.
Bu Elisabeth    : “Kalian ini!! Kecil-kecil sudah berkelahi, mau jadi apa kalian, hah?”
Toby dan Pinokio : “Aduh... sakit, Bu!!”
Bu Elisabeth    : “Siapa yang memperbolehkan kalian berkelahi di sekolah? Siapa??” (melepaskan jewerannya)
Pinokio            : (mengelus telinganya) “Itu Bu, Toby menghinaku kayu sialan!!”
Toby                : “Bohong, Bu! Dia yang melempar bola saat aku makan!!”
Bu Elisabeth    : “Sudah-sudah, Ibu tidak mau dengar! Ibu akan memanggil orang tua kalian ke sekolah!! Sekarang semuanya masuk kelas!!”
            Semua anak-anak pun masuk kelas sesuai perintah Bu Elisabeth.


BABAK 6
Gepetto pun dipanggil ke sekolah oleh Bu Elisabeth karena lagi-lagi Pinokio membuat onar. Di perjalanan pulang ke rumah, Gepetto marah-marah pada Pinokio.
Gepetto           : “Ayah benar-benar kecewa denganmu, Pinokio! Bisa-bisanya kamu malah berkelahi di sekolah! Mau jadi berandalan, kamu?”
Pinokio            : “Tidak Ayah...”
Gepetto           : “Baru kemarin Ayah memarahimu karena dapat nilai F, sekarang kamu sudah membuat onar lagi!!”
Pinokio            : “Tapi Ayah, Toby menghinaku padahal aku hanya tidak sengaja melempar bola ke kepalanya...”
Gepetto           : “Sudah berapa kali Ayah bilang, kalau kamu dihina, biarkan saja!!”
Pinokio            : “Bukan begitu, Ayah! Ah, sudahlah, Pinokio tidak mau sekolah lagi!!” (berjalan mendahului Gepetto)
Gepetto           : “Pinokio!! Jangan melawan Ayah!!”
Pinokio            : “Ayah tidak mengerti, setiap hari mereka menghinaku karena aku berbeda, karena aku cuma seonggok kayu yang Ayah pahat lalu diberi kehidupan oleh seorang peri!!”
Gepetto           : “Kenapa kamu bicara seperti itu, Pinokio?”
Pinokio            : “Karena memang tidak ada yang mau berteman dengan kayu sepertiku, Ayah. Aku benci jadi boneka kayu, pokoknya aku tidak mau sekolah!!”
Pinokio pun berlari pulang mendahului Ayahnya.

BABAK 7
            Berhari-hari, Pinokio tidak masuk sekolah. Ia hanya mengurung diri di kamar sementara Gepetto terus berdoa untuk kebaikan Pinokio. Gepetto terus berdoa agar Pinokio dapat menjadi manusia normal seperti teman-temannya.
            Pinokio terlihat duduk memeluk lututnya di kamarnya. Tak lama kemudian, Peri Biru kembali muncul dengan ajaib.
Peri Biru          : “Pinokio...”
Pinokio            : “Aku tidak mau lagi hidup sebagai boneka kayu, Ibu Peri...”
Peri Biru          : “Kenapa?”
Pinokio            : “Tidak ada yang mau berteman denganku, Ibu Peri... semuanya membenciku,”
Peri Biru          : “Bukankah aku sudah berjanji akan menjadikanmu manusia dengan satu syarat, apa kau melakukannya dengan baik?”
Pinokio            : “Tidak, Peri Biru. Ternyata semua itu sangat sulit, aku tidak mau melihat Ayahku marah, jadi terpaksa aku selalu berbohong padanya...”
Peri Biru          : “Aku sudah mengetahuinya, Pinokio. Dan aku mendengar doa ayahmu setiap malam, agar kau bisa menjadi manusia sejati... apa kau masih mau jadi manusia, Pinokio?”
Pinokio            : “Apakah bisa Ibu Peri?” (berseri-seri)
Peri Biru          : “Tetap dengan satu syarat. Kali ini, kamu tidak boleh melanggarnya apapun yang terjadi. Jangan pernah membuat ayahmu marah, Pinokio, apa kau bersedia?”
Pinokio            : “Tapi aku selalu membuatnya marah, Ibu Peri...”
Peri Biru          : “Karena itulah aku memintamu untuk berhenti membuat ayahmu marah, kau bisa melakukannya?”
Pinokio            : (mengangguk)
Peri Biru          : “Baiklah, kau sebentar lagi akan jadi manusia sejati. Bersiaplah, Pinokio. Simsalabim abrakadabra pinokiosa jadikano manusiasejatino Tring!!” (mengayunkan tongkat sihirnya ke kepala Pinokio)
Akhirnya, Pinokio pun menjadi manusia sejati dan hidup bahagia bersama Gepetto dan teman-teman yang kini menerimanya.

Adsaraku