Membaca cerpen memang menyenangkan. Kita bisa menikmati suasana di dalam
cerita hanya dengan sekali duduk. Ya. Cerpen adalah cerita pendek sehingga bisa
dibaca sekali duduk atau bisa selesai dibaca dalam waktu yang singkat.
Nah, berikut ini ada contoh cerpen yang bisa kalian nikmati. Selamat
membaca!
Abi, Pahlawan Kecil Mikrolet
Brrrwwww…bbrrrwwww…waaaa…hrrr….
Mulut bocah kecil di hadapanku tak
henti-hentinya mengeluarkan bunyi-bunyi aneh tak bermakna. Beberapa penumpang
dibuat risih, apalagi air liurnya turut berhamburan keluar bersamaan dengan suara-suara
aneh yang dibuatnya. Kuperhatikan si bocah yang tampak bahagia menikmati
perjalanannya dengan angkutan umum itu. Sesekali ia terlonjak dan matanya
bersinar lebih terang ketika mikrolet yang kami tumpangi mendahului
kendaraan-kendaraan yang ada di depan. Kebahagiaan yang sungguh sangat
sederhana. Tanpa kusadari sebuah senyum simpul muncul di sudut bibirku.
“Maaf ya, pak, bu…” seorang perempuan
paruh baya di samping si bocah tampak merasa bersalah pada para penumpang atas
perilaku anaknya. Aku tak habis pikir. Mengapa perlu meminta maaf dan merasa
bersalah? Bagiku itu adalah hal yang wajar. Anak itu tidak seperti anak-anak
normal lainnya. Ah, tapi kan orang
berbeda-beda. Bagiku itu tidak masalah, mungkin saja bagi penumpang lain
itu menjadi masalah. Aku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah sang ibu.
Haaa…gagagaahh...brrwww…gah…
Suara si bocah masih terus memenuhi
ruang sempit mikrolet yang telah sesak oleh penumpang. Kali ini bukan hanya
mulutnya yang aktif, tangannya ikut menari-nari seolah tengah memberikan
semangat bagi sopir untuk semakin mempercepat laju kendaraan dan mengejar semua
kendaraan di depan. Para penumpang semakin gusar. Sang ibu berkali-kali
membujuk anaknya untuk diam, tapi tak berhasil. Perempuan itu hanya bisa
menunjukkan wajah penuh permohonan maaf.
Gwaah…hrrr….gagaa…sshh….
Si bocah tampak semakin girang. Ia
mulai menhentak-hentakkan kakinya. Sesekali tangannya menepis tangan ibunya
yang mencoba menghentikan ulahnya. Sang ibu kewalahan, ia mulai tidak sabar. Diseretnya
si bocah agar lebih rapat dengan dirinya dan tidak lagi dapat banyak bergerak.
Si bocah meronta. Ibunya kehabisan akal.
Tidak tega melihat pemandangan itu, aku
mencoba mencari-sari sesuatu dalam tas selempang kecilku. Ah, ini dia. Sebuah permen lolipop kutemukan di salah satu saku
kecil di dalam tas. Kutimbang-timbang, tidakkah akan menyingunggnya jika
kuberikan permen ini. Bagaimana jika ia
tidak suka? batinku. Menit-menit berlalu. Aku masih juga ragu untuk
memberikan permen ini pada anak itu.
Gaga…hhhs….wssshh…gyaaahhh….
Si ibu tampak semakin kewalahan
mengendalikan anaknya. Kali ini si bocah bukan hanya berteriak-teriak,
menggerak-gerakkan tangannya, atau menghentakkan kakinya. Ia bergerak meraih
punggung kursi Pak Sopir yang tengah asik mengemudi. Seakan ia menyemangati Pak
Sopir, ia berteriak-teriak dan mengepalkan tangannya. Pak Sopir gusar.
Penumpang was-was. Sang ibu kewalahan. Di tengah-tengah suasana tegang ini,
kuberanikan diri menyapa anak itu.
“Ehmm…adik manis,” aku tak tahu apa
yang harus ku katakan selanjutnya. Yang pertama bereaksi justru para penumpang.
Mereka menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya. Yang kedua, sang ibu
menoleh ke arahku, sama herannya.
“Eh, maaf, Bu. Ss..saya…eh, apakah
boleh jika saya berikan permen ini kepada adik itu?”
“Eh? Ya…ya…silahkan. Terima kasih,
nak.”
Ibu itu kemudian mencoba mengendalikan
anaknya dan memberitahunya untuk melihat ke arahku. Saat anak itu menoleh ke
arahku, aku hanya bisa tersenyum. Tidak tahu harus mengatakan apa. Langsung
saja kuulurkan permen padanya. Selama beberapa detik, ia hanya diam mematung
dan menatap tajam ke arahku. Aku gentar. Apakah
sikapku salah?
Hraaah…hraahh…
Tiba-tiba ia meronta dan
menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku panik. Aku mengalihkan pandanganku pada sang
ibu. Ternyata ekspresinya tidak jauh berbeda denganku. Ibu itu tampak terkejut
dan panik. Mungkin juga sama tidak mengiranya jika anaknya akan bereaksi
seperti itu. Usahanya untuk menenangkan anaknya tidak membuahkan hasil. Anak
itu meraung-raung dan menunjuk-nunjuk ke arahku.
Sekonyong-konyong ia bergerak ke
arahku. Aku semakin panik. Takut luar biasa. Kemudian ketakutanku berubah menjadi
perasaan tegang. Anak itu sama sekali tidak menuju ke arahku, tapi penumpang
yang duduk di sampingku agak tersembunyi di antara penumpang-penumpang lain. Ia
menarik penumpang itu dan memukul-mukulnya. Suasana mikrolet jadi gaduh.
Beberapa penumpang menjerit panik. Pak Sopir segera menghentikan mikroletnya.
“Ada apa ini?!” Pak Sopir marah-marah.
Mikroletnya sangat gaduh dan menjadi tidak nyaman. Beberapa penumpang pun
segera turun dari mikrolet.
Aku yang sama sekali tidak mengerti apa
yang sedang terjadi hanya terbengong-bengong menyaksikan semua kegaduhan itu.
Namun tiba-tiba semuanya menjadi jelas setelah sopir mikrolet itu turun tangan.
Sopir mikrolet itu menyeret keluar penumpang yang menjadi sasaran anak tadi.
Kini si anak telah berada dalam dekapan ibunya yang berurai air mata. Mungkin terguncang
dengan aksi anaknya yang tiba-tiba itu.
Aku menyusul turun dari mikrolet dan
mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di luar mikrolet, suasana sama
gaduhnya. Para penumpang yang turun lebih dulu memaki-maki penumpang yang
diseret Pak Sopir. Ternyata penumpang laki-laki itu adalah seseorang yang
memiliki niat jahat. Beruntung, anak itu lebih dulu memergokinya merogoh tas
selempang kecilku selagi aku sibuk memberanikan diri untuk memberikan sebutir
permen pada si anak.
“Terima kasih.” Hanya kata terima kasih
yang keluar dari mulutku sembari mendekati anak itu dan mengulurkan permen yang
masih ada dalam genggamanku.
Mata anak itu berbinar. Ia tampak
senang menerima pemberianku. Betapa polosnya. Ia segera bahagia seolah tidak
ada apa-apa yang baru saja terjadi. Ekspresi bahagia di wajahnya sama sekali
berlainan dengan ibunya. Ibunya masih tampak bingung. Apa yang terjadi tadi
memang mengejutkan. Aku segera menyapa ibu itu dan menenangkannya. Anaknya
telah membantuku. Aku menyampaikan terima kasih.
Sopir mikrolet itu telah meminta
bantuan seseorang untuk menghubungi pihak yang berwajib. Ia tidak mau mengambil
resiko hanya dengan membiarkan penumpang itu keluar dari mikroletnya dan pergi
begitu saja. Para penumpang pun segera kembali ke tempat duduknya. Mereka kini
memandang si bocah dengan pandangan yang lebih bersahabat. Beberapa menunjukkan
raut belas kasih.
Selama sisa perjalanan itu, aku
berkenalan dengan ibu dan anak itu. Anak yang telah menyelamatkan isi tasku itu
bernama Abi. Ia lahir normal. Namun, ketika menginjak usia satu setengah tahun Abi
tidak segera menunjukkan tanda-tanda mampu berkomunikasi dengan baik.
Perilakunya juga cenderung berbeda dengan anak-anak seusianya. Ia sangat
agresif dan juga sensitif pada berbagai hal. Setelah dilakukan pemeriksaan, ia
divonis sebagai penderita autisme. Penderita autisme terkenal memiliki tingkat
emosional yang tinggi. Mereka bisa saja tiba-tiba kesal dan berbuat ulah
sebagai pelampiasan.
Sejak pertama kali bertemu dengan Abi
di dalam mikrolet yang kebetulan sama-sama kami tumpangi ini aku sudah merasa
tertarik. Aku sama sekali tidak merasa risih dengannya. Apalagi setelah
mengenalnya. Aku semakin ingin mengetahui lebih banyak tentangnya. Tiba-tiba
sebuah ide terlintas di benakku. Mungkin aku akan mendirikan komunitas peduli
autisme. Dengan begitu aku bisa membantu mereka. Mungkin saja.
Hmm, gimana? Cerpen ini memang sederhana, tapi tentu ada hikmah yang bisa diambil bukan? Bahwa tidak semua hal selalu seperti apa yang kita pikirkan dan tidak baik berburuk sangka padahal kita tidak tahu kebenarannya :)
No comments:
Post a Comment