Thursday, April 21, 2022

Cerpen Singkat: Abi, Pahlawan Kecil Mikrolet

Membaca cerpen memang menyenangkan. Kita bisa menikmati suasana di dalam cerita hanya dengan sekali duduk. Ya. Cerpen adalah cerita pendek sehingga bisa dibaca sekali duduk atau bisa selesai dibaca dalam waktu yang singkat.

Nah, berikut ini ada contoh cerpen yang bisa kalian nikmati. Selamat membaca!

Abi, Pahlawan Kecil Mikrolet

Brrrwwww…bbrrrwwww…waaaa…hrrr….

Mulut bocah kecil di hadapanku tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi-bunyi aneh tak bermakna. Beberapa penumpang dibuat risih, apalagi air liurnya turut berhamburan keluar bersamaan dengan suara-suara aneh yang dibuatnya. Kuperhatikan si bocah yang tampak bahagia menikmati perjalanannya dengan angkutan umum itu. Sesekali ia terlonjak dan matanya bersinar lebih terang ketika mikrolet yang kami tumpangi mendahului kendaraan-kendaraan yang ada di depan. Kebahagiaan yang sungguh sangat sederhana. Tanpa kusadari sebuah senyum simpul muncul di sudut bibirku.

“Maaf ya, pak, bu…” seorang perempuan paruh baya di samping si bocah tampak merasa bersalah pada para penumpang atas perilaku anaknya. Aku tak habis pikir. Mengapa perlu meminta maaf dan merasa bersalah? Bagiku itu adalah hal yang wajar. Anak itu tidak seperti anak-anak normal lainnya. Ah, tapi kan orang berbeda-beda. Bagiku itu tidak masalah, mungkin saja bagi penumpang lain itu menjadi masalah. Aku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah sang ibu.

Haaa…gagagaahh...brrwww…gah

Suara si bocah masih terus memenuhi ruang sempit mikrolet yang telah sesak oleh penumpang. Kali ini bukan hanya mulutnya yang aktif, tangannya ikut menari-nari seolah tengah memberikan semangat bagi sopir untuk semakin mempercepat laju kendaraan dan mengejar semua kendaraan di depan. Para penumpang semakin gusar. Sang ibu berkali-kali membujuk anaknya untuk diam, tapi tak berhasil. Perempuan itu hanya bisa menunjukkan wajah penuh permohonan maaf.

Gwaah…hrrr….gagaa…sshh….

Si bocah tampak semakin girang. Ia mulai menhentak-hentakkan kakinya. Sesekali tangannya menepis tangan ibunya yang mencoba menghentikan ulahnya. Sang ibu kewalahan, ia mulai tidak sabar. Diseretnya si bocah agar lebih rapat dengan dirinya dan tidak lagi dapat banyak bergerak. Si bocah meronta. Ibunya kehabisan akal.

Tidak tega melihat pemandangan itu, aku mencoba mencari-sari sesuatu dalam tas selempang kecilku. Ah, ini dia. Sebuah permen lolipop kutemukan di salah satu saku kecil di dalam tas. Kutimbang-timbang, tidakkah akan menyingunggnya jika kuberikan permen ini. Bagaimana jika ia tidak suka? batinku. Menit-menit berlalu. Aku masih juga ragu untuk memberikan permen ini pada anak itu.

Gaga…hhhs….wssshh…gyaaahhh….

Si ibu tampak semakin kewalahan mengendalikan anaknya. Kali ini si bocah bukan hanya berteriak-teriak, menggerak-gerakkan tangannya, atau menghentakkan kakinya. Ia bergerak meraih punggung kursi Pak Sopir yang tengah asik mengemudi. Seakan ia menyemangati Pak Sopir, ia berteriak-teriak dan mengepalkan tangannya. Pak Sopir gusar. Penumpang was-was. Sang ibu kewalahan. Di tengah-tengah suasana tegang ini, kuberanikan diri menyapa anak itu.

“Ehmm…adik manis,” aku tak tahu apa yang harus ku katakan selanjutnya. Yang pertama bereaksi justru para penumpang. Mereka menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya. Yang kedua, sang ibu menoleh ke arahku, sama herannya.

“Eh, maaf, Bu. Ss..saya…eh, apakah boleh jika saya berikan permen ini kepada adik itu?”

“Eh? Ya…ya…silahkan. Terima kasih, nak.”

Ibu itu kemudian mencoba mengendalikan anaknya dan memberitahunya untuk melihat ke arahku. Saat anak itu menoleh ke arahku, aku hanya bisa tersenyum. Tidak tahu harus mengatakan apa. Langsung saja kuulurkan permen padanya. Selama beberapa detik, ia hanya diam mematung dan menatap tajam ke arahku. Aku gentar. Apakah sikapku salah?

Hraaah…hraahh…

Tiba-tiba ia meronta dan menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku panik. Aku mengalihkan pandanganku pada sang ibu. Ternyata ekspresinya tidak jauh berbeda denganku. Ibu itu tampak terkejut dan panik. Mungkin juga sama tidak mengiranya jika anaknya akan bereaksi seperti itu. Usahanya untuk menenangkan anaknya tidak membuahkan hasil. Anak itu meraung-raung dan menunjuk-nunjuk ke arahku.

Sekonyong-konyong ia bergerak ke arahku. Aku semakin panik. Takut luar biasa. Kemudian ketakutanku berubah menjadi perasaan tegang. Anak itu sama sekali tidak menuju ke arahku, tapi penumpang yang duduk di sampingku agak tersembunyi di antara penumpang-penumpang lain. Ia menarik penumpang itu dan memukul-mukulnya. Suasana mikrolet jadi gaduh. Beberapa penumpang menjerit panik. Pak Sopir segera menghentikan mikroletnya.

“Ada apa ini?!” Pak Sopir marah-marah. Mikroletnya sangat gaduh dan menjadi tidak nyaman. Beberapa penumpang pun segera turun dari mikrolet.

Aku yang sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi hanya terbengong-bengong menyaksikan semua kegaduhan itu. Namun tiba-tiba semuanya menjadi jelas setelah sopir mikrolet itu turun tangan. Sopir mikrolet itu menyeret keluar penumpang yang menjadi sasaran anak tadi. Kini si anak telah berada dalam dekapan ibunya yang berurai air mata. Mungkin terguncang dengan aksi anaknya yang tiba-tiba itu.

Aku menyusul turun dari mikrolet dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di luar mikrolet, suasana sama gaduhnya. Para penumpang yang turun lebih dulu memaki-maki penumpang yang diseret Pak Sopir. Ternyata penumpang laki-laki itu adalah seseorang yang memiliki niat jahat. Beruntung, anak itu lebih dulu memergokinya merogoh tas selempang kecilku selagi aku sibuk memberanikan diri untuk memberikan sebutir permen pada si anak.

“Terima kasih.” Hanya kata terima kasih yang keluar dari mulutku sembari mendekati anak itu dan mengulurkan permen yang masih ada dalam genggamanku.

Mata anak itu berbinar. Ia tampak senang menerima pemberianku. Betapa polosnya. Ia segera bahagia seolah tidak ada apa-apa yang baru saja terjadi. Ekspresi bahagia di wajahnya sama sekali berlainan dengan ibunya. Ibunya masih tampak bingung. Apa yang terjadi tadi memang mengejutkan. Aku segera menyapa ibu itu dan menenangkannya. Anaknya telah membantuku. Aku menyampaikan terima kasih.

Sopir mikrolet itu telah meminta bantuan seseorang untuk menghubungi pihak yang berwajib. Ia tidak mau mengambil resiko hanya dengan membiarkan penumpang itu keluar dari mikroletnya dan pergi begitu saja. Para penumpang pun segera kembali ke tempat duduknya. Mereka kini memandang si bocah dengan pandangan yang lebih bersahabat. Beberapa menunjukkan raut belas kasih.

Selama sisa perjalanan itu, aku berkenalan dengan ibu dan anak itu. Anak yang telah menyelamatkan isi tasku itu bernama Abi. Ia lahir normal. Namun, ketika menginjak usia satu setengah tahun Abi tidak segera menunjukkan tanda-tanda mampu berkomunikasi dengan baik. Perilakunya juga cenderung berbeda dengan anak-anak seusianya. Ia sangat agresif dan juga sensitif pada berbagai hal. Setelah dilakukan pemeriksaan, ia divonis sebagai penderita autisme. Penderita autisme terkenal memiliki tingkat emosional yang tinggi. Mereka bisa saja tiba-tiba kesal dan berbuat ulah sebagai pelampiasan.

Sejak pertama kali bertemu dengan Abi di dalam mikrolet yang kebetulan sama-sama kami tumpangi ini aku sudah merasa tertarik. Aku sama sekali tidak merasa risih dengannya. Apalagi setelah mengenalnya. Aku semakin ingin mengetahui lebih banyak tentangnya. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku. Mungkin aku akan mendirikan komunitas peduli autisme. Dengan begitu aku bisa membantu mereka. Mungkin saja.

Hmm, gimana? Cerpen ini memang sederhana, tapi tentu ada hikmah  yang bisa diambil bukan? Bahwa tidak semua hal selalu seperti apa yang kita pikirkan dan tidak baik berburuk sangka padahal kita tidak tahu kebenarannya :) 

No comments:

Post a Comment

Adsaraku